INFO NEWS | BOGOR - Sindikat pengoplos tabung gas bersubsidi ukuran 3 kilogram masih marak beroperasi di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Dijalan Gunung Maloko, Desa Sukamulya misalnya, lokasi pengoplosan gas ukuran 3 kilogram bebas beroperasi seolah tidak peduli dengan risiko kebocoran saat memindahkan isi tabung 3 kg (bersubsidi, red) ke tabung yang lebih besar meskipun bisa memicu kebakaran hingga ledakan alias mengancam keselamatan jiwa.
Ironisnya lagi, lokasi pengoplosan tak jauh dari markas TNI angkatan udara dan seolah tidak tersentuh hukum sehingga menimbulkan pertanyaan masyarakat dimana keberadaan aparat kepolisian?
" Kami sebenarnya sudah resah pak dengan adanya praktik pengoplosan gas disini, tapi selama ini tidak ada tindakan hukum kepada para pelakunya. Padahal bisa membahayakan, baik untuk pengoplos maupun warga yang berada di area lokasi," ungkap Saraswati (31) warga Desa Sukamulya, Rabu 25/12/2024.
Keresahan ibu anak dua (2) ini cukup beralasan, karena beberapa waktu lalu sempat terjadi kebakaran yang memicu ledakan di sebuah gudang gas oplosan di Desa Pabuaran pada Senin 25 November 2024 lalu. Ia mengatakan, gudang oplosan di Desa Pabuaran berada tak jauh dari kediaman kerabatnya.
" Kalau ada kebocoran lalu terjadi kebakaran seperti yang di Pabuaran gimana? Terus kalau ada warga yang jadi korban siapa yang mau tanggung jawab, dan setiap ada kegiatan pengoplosan pasti mengeluarkan bau gas," tambahnya.
Lebih jauh ia menuturkan, informasi yang beredar di masyarakat, pemilik lokasi atau terduga pelaku biasa dipanggil dengan sebutan nama Asep Kancil. Beberapa waktu lalu, sempat terjadi penggerebekan oleh aparat kepolisian tapi tak berselang lama kembali beroperasi.
" Pernah di gerebek polisi, terus tidak ada kegiatan pengoplosan. Tapi tidak berselang lama, kembali buka," tuturnya.
Peneliti Forum Kajian dan Analisa Publik, Cahya Junjungan mengatakan, praktik haram yang memindahkan isi gas ukuran 3 kilogram ke tabung besar non subsidi jelas membahayakan masyarakat pengguna. Artinya, sindikat pengoplosan gas harus ditindak secara tegas sesuai perundangan-undangan.
" Itu membahayakan keselamatan jiwa, baik pelaku maupun nantinya masyarakat pengguna," kata dia.
Cahya juga menilai, perbedaan atau disparitas harga dituding sebagai biang keladi maraknya praktik pengoplosan elpiji. Pengalihan gas dari tabung elpiji tiga kilogram yang bersubsidi ke dalam tabung elpiji lebih besar yang tidak bersubsidi ini bisa merusak katup tabung. pabila katup dan segel tabung rusak, gas dalam tabung rawan bocor.
" Kondisi ini ditengarai menjadi salah satu penyebab kecelakaan penggunaan elpiji di sejumlah tempat di tanah air hingga menelan korban jiwa," imbuhnya.
Ia juga menambahkan, peluang pengoplosan sebenarnya sudah bisa tercium sejak awal program konversi minyak tanah ke elpiji. Demi efisiensi besaran subsidi bahan bakar minyak, pemerintah ”memaksa” masyarakat beralih jenis bahan bakar rumah tangga dari minyak tanah ke elpiji dengan menyubsidi harga gas tabung 3 kg bagi jutaan penerima paket konversi.
" Program ini sejak awal memiliki beberapa kelemahan mendasar. Salah satunya adalah tetap memberi subsidi harga sehingga menimbulkan disparitas harga. Apalagi program ini diterapkan terbuka, tidak dibatasi siapa penggunanya, jadi tidak tepat sasaran," tandasnya.
Hingga berita ini dimuat, belum ada keterangan resmi dari pihak berwajib ataupun instansi terkait perihal marak dan bebas beroperasi dugaan praktik pengoplosan gas bersubsidi ukuran 3 kilogram ke tabung non subsidi di Jalan Gunung Maloko, Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor.
(Rfs)